Skip to main content

Featured

Drone AS Melempem di Ukraina, Buatan China Lebih Andal

Perang drone Ukraina lawan Rusia memaksa kedua belah pihak untuk berinovasi dengan cepat. Namun ternyata, drone buatan Amerika Serikat tidak unggul di medan perang sehingga mendorong Ukraina beralih ke drone buatan China. Permasalahan yang terdapat pada banyak drone buatan AS, khususnya drone kecil, adalah bahwa drone tersebut sering tak berfungsi seperti yang diiklankan atau direncanakan. Selain itu menurut sumber, mudah mengalami kesalahan ketika diincar jammer Rusia. Drone AS rupanya rapuh dan rentan terhadap peperangan elektronik. Di sebagian drone AS yang dikirim ke Ukraina, masalahnya termasuk tidak bisa lepas landas, tersesat, tidak kembali atau gagal memenuhi harapan misi. Persoalannya adalah teknologi AS tidak berkembang cukup cepat. Georgii Dubynskyi, wakil menteri transformasi digital Ukraina, mengibaratkan bahwa "apa yang bisa terbang hari ini tidak akan bisa terbang besok." "Reputasi umum setiap kelas drone Amerika di Ukraina adalah mereka tidak bekerja seb...

Di Depan DPR, PTDI Usul Tambahan Rp 70 M Buat Bikin Drone.


Dalam rapat terbatas pada 6 Februari 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta produksi massal pesawat tanpa awak alias drone milik RI dapat dipercepat. Awalnya ditargetkan produksi massal pada 2024, lalu diputuskan dipercepat menjadi 2022.

PT Dirgantara Indonesia (Persero) langsung menyatakan kesanggupannya terkait target percepatan tersebut. Akan tetapi, pihaknya mengungkapkan butuh tambahan dana hingga kurang lebih Rp 70 miliar.

"Biaya produksi (tambahan) butuh Rp 60 miliar-70 miliar, ini lengkapnya termasuk senjata dan lain sebagainya," ujar Direktur Utama PTDI Elfien Goentoro dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Mempercepat pengadaan produksi tersebut, pengerjaan drone tersebut bakal dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung (ITB), Kementerian Pertahanan (Kemhan), TNI Angkatan Udara, LAPAN, PT LEN dan PT Dirgantara Indonesia (DI).

"Ini kita diminta speed up makanya kita melakukan integrasi daripada kemampuan kompetisi yang ada di Indonesia dengan 7 lembaga yang ada di republik kita, yang lead integrator-nya adalah PT DI sendiri," sambungnya.

Untuk diketahui, drone yang tengah diproduksi PTDI memiliki kategori Medium Altitude Long Endurance (MALE).

Pengembangan pesawat terbang tanpa awak ini sudah dilakukan sejak 2004 lalu. Bahkan, sebelumnya PT DI juga sudah memproduksi drone jenis Wulung dan Alap-Alap yang sudah diujicoba untuk pemetaan dan pertahanannya.

Pesawat tanpa awak ini, memiliki kemampuan terbang di atas ketinggian 15.000 kaki, di mana PTTA lainnya hanya mampu terbang di bawah 10.000 kaki. MALE juga memiliki jangkauan jelajah operasi luas mencapai 5.000 kilometer (km) tanpa henti atau mampu beroperasi 24 jam penuh.

Pesawat ini, bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan dengan misi intelligence, surveillance dan reconnaissance (pengintaian), dan akan dilanjutkan dengan kebutuhan pertahanan dengan misi tempur bersenjata (combat mission).

MALE juga mampu membawa beban hingga 300 kilogram (kg) berupa roket dan senjata. Selain itu, pesawat ini juga bisa dilengkapi dengan sensor kamera, sinyal dan elektronik intelijen.

Dengan sensor infrared dan radar yang dimiliki pesawat ini, maka dengan mudah dapat mendeteksi objek yang dituju. Hal ini penting untuk mengoperasikan misi pertahanan negara.

Anggaran???



Disisi lain, mengenai perencanaan anggaran, awalnya ditargetkan produksi massal pada 2024, lalu diputuskan dipercepat menjadi 2022. Kebutuhan dana pun naik jadi Rp 1,1 triliun.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro mengatakan untuk tahap awal drone bernama Elang Hitam ini akan diproduksi sebanyak 5 unit sebelum akhirnya diproduksi massal.

"Kita bikin prototipe dulu sampai 5. Mulai 2022 setelah kita punya 5 prototype baru kita produksi dalam jumlah besar. Kan harus prototype dulu untuk memastikan ini sesuai kebutuhan," ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Drone untuk keperluan militer ini didesain oleh BPPT, Lapan dan Balitbang Kemenhan. Sementara untuk produksinya akan digarap oleh 2 BUMN, yakni PT DI untuk manufakturnya, dan LEN untuk keperluan senjata, sistem sensor maupun radar. Drone ini nantinya akan diserap oleh TNI dan masuk dalam bagian alutsista.

"Intinya boleh dibilang sama dengan drone yang sekarang dimiliki TNI dari luar, tapi dengan harga dan teknologi dalam negeri. Karena kalau senjata kalau teknologinya tergantung luar negeri, istilahnya kita mau ngapain saja lawan sudah tahu," ujarnya.

Bambang menerangkan, awalnya taksiran kebutuhan dana untuk pengembangan drone ini untuk membuat prototype sekitar Rp 800 miliar. Namun karena dipercepat kebutuhan dana diperkirakan naik menjadi Rp 1,1 triliun.

"Tadinya butuh 5 tahun dimajukan jadi 3 tahun. Kalau baseline-nya untuk sampai prototype itu Rp 800 miliar. Tapi karena dipercepat bisa naik sampai Rp 1,1 triliun," tuturnya.

Sumber:

Detik Finance (A)

Detik Finance (B)

Comments